Un Socialita Apatico
Kita mengerti bahwa manusia merupakan makhluk hidup komunal dan sosialis sebagaimana hakikatnya. Kita akan saling membantu dan memiliki dorongan yang kuat untuk menjadi "manusia" yang sebenar - benarnya. Akan tetapi, dalam kenyataan yang nyata dan tampak mata manusia tak selalu seperti itu. Dalam perenungan penulis, penulis yang juga manusia selalu di buat tertawa dengan tingkah manusia lainnya atau bahkan dengan tingkah laku penulis sendiri. Bingung, marah, sedih dan cemas cukup menghantui ketika terbesit bayangan "bagaimana jika manusia benar-benar tidak menjadi manusia yang manusia?"
Sedikit cerita, di akhir tahun lalu penulis menginjakkan kaki di salah satu lembaga sosial di kota asal penulis. Ada rasa haru, syukur dan perenungan ketika penulis datang sebagai mahasiswa praktikan. Minggu pertama, semua berjalan normal dan "kompeten" sebagaimana mestinya. Beberapa kali berbincang bertukar cerita dengan para pekerja sosial disana, membuat hati semakin riuh dengan keberpihakan dunia yang ternyata tak selalu manusia ada pada titik nadir terbaiknya. Dengan modal perenungan tersebut, membuat hati tergerak untuk semakin bersemangat berbagi tawa dan suka cita dengan para warga binaan disana. Tetapi, seiring berjalannya waktu semua yang berkesan perlahan memudar dan menjadi sebuah pemikiran kritis dalam diri sendiri.
Pada hari - hari selanjutnya, kedekatan dan keakraban semakin terbangun dan seakan menjadi "rumah" kedua. para warga binaan mulai bercerita betapa "mobat mabit" nya pengayoman dan sikap "orang tua" yang ada di lembaga tersebut. Ada banyak keluh kesah yang disampaikan dengan dasar mengapa mereka merasakan sesuatu hal yang jauh dari bayangan mereka mengenai pengayoman dan pembinaan sosial masyarakat. Tidak hanya mereka, bahkan penulis dan beberapa pekerja sosial juga merasakan hal yang sama dimana kurangnya kinerja yang maksimal pada teman kami yang menjadi warga binaan. Dalam benak penulis hanya ada satu kata dalam gambaran sikap yang ada di lingkungan lembaga tersebut. Apatis.
Ada begitu banyak fenomena yang tak bisa penulis curahkan dalam tulisan ini. Tak sampai hati untuk mengungkapkannya dalam diksi. Hanya ada satu perenungan yang teringat saat malam dibawah lampu kota pinggir warung rokok, bahwa sejatinya manusia adalah makhluk komunal dan sosial. Lalu, bagaimana bila manusia tidak benar-benar menjadi manusia yang manusia?
Komentar
Posting Komentar