L'inumano Deve Essere Distrutto
Sepak bola di Indonesia, rasanya sudah menjadi identitas tambahan bagi masyarakat selain suku, agama dan ras. Tak heran bagi saya bila setiap "El Nacional" Indonesia bertanding, jutaan pasang mata dengan tulus mendukung dan bersorak. Dalam historinya pun, Indonesia pernah turut serta dalam gelaran World Cup 1938 yang kala itu masih bernama Hindia Belanda. Hal itu rasanya menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya dan masyarakat sepak bola Indonesia sebagai bukti nyata bahwa sepak bola seakan menjadi darah bangsa kita. Namun, seiring berjalannya waktu, Tampaknya negeri ini tak selalu kondusif untuk memahami bagaimana sepak bola ini hidup. Selama Indonesia menjadikan sepak bola sebagai enthusiast sport, tak jarang problematika lahir mencoreng wajah bangsa kita sendiri. Jika ditelisik, Indonesia dirasa menjadi "langganan" sanksi dari FIFA terkait hiruk pikuk persepakbolaan di tanah air. Kasus sepak bola gajah, Calciopoli di Indonesia, Kerusuhan supporter, bahkan hingga permasalahan gaji pemain, menjadi catatan hitam bagi persepakbolaan di Indonesia. Tentunya permasalahan tersebut tidak hanya ada di Indonesia, di beberapa negara seperti Italia, Inggris, Spanyol, Brazil dll pun pernah merasakan keruhnya. Tetapi rasanya, bagi saya dan mungkin banyak masyarakat, Sepak bola Indonesia tak henti - hentinya menjadi luka mendalam bagi para pecintanya. Di tahun 2022 saja, sudah menjadi rahasia umum bila kualitas persepakbolaan di Indonesia susah beranjak dari goa. Dimulai dari permasalahan internal Federasi, keputusan wasit di semua liga, operating system liga, sikap pemain, bahkan supporter. Sanksi Federasi, bahkan FIFA sekalipun, rasanya seperti hukuman remeh yang membuat kita tidak menjadi lebih baik.
1 Oktober, tidak hanya menjadi peringatan Hari Kesaktian Pancasila bagi bangsa Indonesia pasca tragedi G30S/PKI. Tetapi di tahun ini, menjadi sebuah peringatan kelam bagi dunia persepakbolaan Indonesia. Sesuai jadwal liga, 1 Oktober 2022 mempertemukan klub jatim bertajuk "Derby Jatim" antara Arema FC vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang. Bagi masyarakat sepak bola tanah air, tidak mengherankan bila di Indonesia memiliki pertandingan derby dan harus kita akui bahwa pertandingan derby juga menjadi pertandingan yang ditunggu - tunggu oleh para fans sebagai ajang eksistensi dan gengsi untuk mendukung klub yang dicintainya. Pertandingan derby jatim ini, diakhiri dengan kemenangan Persebaya Surabaya yang juga menjadi kemenangan perdana setelah 23 tahun tak pernah menang menghadapi Arema FC. Secara statistik pun, Persebaya cukup mendominasi jalannya pertandingan derby super jatim ini dan Arema FC, agaknya memang sedang dalam fase performa yang kurang konsisten di musim ini. Sudah sepantasnya memang tidak ada klub yang selalu konsisten di setiap musim. Coba kita amati klub-klub besar di luar negeri yang tak jarang performa mereka sedang "suloyo" di liga. Tapi sepak bola di Indonesia juga tidak berbeda dengan sepak bola di negara manapun. Fanatisme fans menjadi sebuah kebanggan bagi fans sendiri dan juga klub. Sering kali, fanatisme berdampak positif bagi supporter dan juga klub itu sendiri. Namun, satu hal yang harus selalu kita ingat bahwa sesuatu yang berlebihan tidak akan pernah baik pada akhirnya.
Pasca pertandingan derby jatim ini, Para Aremania (sebutan bagi fans Arema FC) begitu kecewa dan ingin mengekspresikan hal tersebut secara langsung kepada pemain dan juga manajemen klub tanpa adanya kerusuhan. Sekali lagi, TANPA ADA KERUSUHAN! Dimulai dari satu, dua fans Arema yang masuk lapangan pasca pertandingan menghampiri para pemain dan manajemen untuk rasanya bermaksud memberikan semangat, kritikan dan evaluasi untuk modal pertandingan yang akan datang. Semakin lama semakin banyak, para supporter yang ikut turun dan masuk lapangan sebagai bentuk solidaritas serta turut ikut memberikan dukungan. Para pemain dan manajemen Arema pun kala itu memang mengerti dan melayani hal tersebut sebagai kedekatan emosional antara punggawa klub dengan "kekasihnya". Tetapi momen tak dinyana pun terjadi, saya akui bahwa semakin banyak supporter turun ke lapangan pasti beresiko menimbulkan chaos, hingga para pengaman (dalam hal ini Polisi dan TNI) mencoba bereaksi untuk menertibkan massa. Bagi saya pribadi, dalam momen itu memang dirasa masih wajar dimana supporter yang masuk lapangan ingin mengekspresikan perasaan emosionalnya, dan para satuan pengamanan pun mencoba mengontrol keramaian ini agar tidak menimbulkan kericuhan. Hal tersebut pernah terjadi di musim lalu, dalam akhir musim liga Inggris (Premier League) yang mempertemukan Everton vs Crystal Palace. Akhir pertandingan dimenangkan oleh Everton dengan skor 3 - 2. Hasil tersebut menjadi pesta meriah bagi manajemen klub, pemain, juga para fans, karena dengan hal itu Everton tetap berada di kasta tertinggi liga inggris. Semua penonton turun dan masuk lapangan merayakan kemenangan. Akan tetapi, tidak ada laporan korban jiwa atas peristiwa tersebut. Semuanya baik, normal dan haru atas momen tersebut. Para pengaman pun, rasanya tetap mengontrol sebagai prosedur keamanan dan ketertiban stadion dan para pengaman pun memahami bahwa momen ini merupakan momen "memadu kasih", emosional supporter atas klubnyaklubnya. Sehingga memang tak perlu bereaksi berlebihan bahkan hingga mendongakkan senjata.
Sementara itu di Malang, ketika momen bercinta fans Arema (Aremania) dengan punggawa klub (Arema FC) berlangsung, para satuan pengaman bereaksi dengan sangat berlebihan. Begitu ingin terlihat superior dan bermaksud seakan menjadi "Superhero" yang pada kenyataannya pasca hal itu justru menjadi "Superzero". Indikasi crowd atau chaos tentu berpotensi untuk terjadi, namun bukan berarti akan berakhir dengan tindakan anarkis dan brutal. Iklim fanatisme di Indonesia sangatlah kental. Tapi, cukup banyak para fans yang dewasa dan mengerti akan bagaimana bersikap fanatisme pada klub kebanggaannya. Polisi, dan TNI (dalam hal ini bertugas menjadi satuan pengaman) menunjukkan tindakan pengamanan yang sangat berlebihan. Semua tindakan pengamanan adalah berbau hantaman fisik dan sistem pengendalian massa yang begitu tak manusiawi. Total ada sekitar 30.000 supporter yang datang di Stadion Kanjuruhan. Sudut Stadion semua penuh tak bersisa, bahkan hingga kursi VIP. Ketika peristiwa itu terjadi, satuan pengaman dengan "SENGAJA" dan "DIPERINTAHKAN" untuk menggunakan tear gas (gas air mata) sebagai mass crowd control. Situasi mencekam, panik, dan langsung berhamburan menuju pintu keluar. Hingga akhirnya, sebagaimana berita - berita yang telah beredar, 100+ korban meninggal dunia dan lebih dari 20 orang mengalami cidera (baik berat maupun ringan) akibat berebut pintu keluar karena begitu banyak sisi stadion yang sudah dipenuhi asap gas air mata. Bagi saya, hal ini menjadi bukti bahwa penanganan keamanan kita dalam dunia sepak bola, begitu tidak kompeten, impulsif, keji dan tak berlogika. Supporter turun ke lapangan memang tidak bisa dibenarkan, namun dalam atmosfer persepakbolaan, tidak hanya di Indonesia bahkan seluruh dunia, hal - hal semacam itu dirasa cukup lazim, meskipun melanggar. Akan tetapi, reaksi para aparat keamanan dalam peristiwa 1 Oktober 2022 sangat berlebihan dan cacat tindakan. Penggunaan gas air mata jelas - jelas tidak diperbolehkan menurut peraturan FIFA (Pasal 19 mengenai FIFA Security & Stadium Safety).
Sekali lagi, sudah semestinya sepak bola merupakan sarana hiburan dan menjalin persahabatan. Fanatisme yang hidup didalam jiwa, bagi saya adalah sesuatu yang wajar dalam diri manusia. Setiap manusia memiliki jiwa - jiwa fanatik dalam sesuatu hal. Hanya tinggal bagaimana, kita dapat mengendalikan fanatisme itu dan berpikir dewasa didalamnya.
Sepak bola bukan menjadi arena kematian. Bukan menjadi trauma atas keluarga yang kehilangan anggotanya. Bukan menjadi musabab air mata ibu yang mengalir deras karena anaknya yang tak kunjung pulang. Bukan. Bukan.
Usut tuntas tragedi 1 Oktober. Pastikan ada yang bertanggungjawab atas duka yang dirasa. Gugurnya saudara kami bukan karena arogansi, melainkan dengan asap yang dilontarkan.
#1312
Komentar
Posting Komentar